Mendaki piramida, menuju pasar global

Posted in: case individu by dinda on April 13, 2010

Banyak perusahaan-perusahaan nasional yang keder menghadapi saingan-saingannya dari perusahaan multinasional. Ketakutan tersebut memang berdasar. Perusahaan-perusahaan multinasional sering datang dengan strategi yang sudah terasah belasan atau puluhan tahun, reputasi bagus yang sulit untuk ditaklukkan, dan SDM dan sistem perusahaan berkelas dunia. Ketakutan tersebut memang perlu untuk menjaga kewaspadaan, tetapi ketakutan tersebut tidak perlu berlebihan juga. Memang benar, raksasa-raksasa multinasional tersebut memiliki hampir semua sumber daya yang didambakan perusahaan lokal. Namun sering mereka tidak mampu menggunakan keunggulan mereka secara maksimal di lingkungan negara-negara berkembang.
Sebut saja efisiensi logistik. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang lalu lintasnya masih tidak karuan dengan infrastruktur yang sering di bawah standar, sistem informasi logistik yang mampu memprediksi tibanya kiriman dalam hitungan menit tidak bisa diterapkan di sini. Ini belum termasuk kondisi daerah pedalaman dan kepulauan Indonesia. Pasar Indonesia yang heterogen juga menyulitkan metode riset pasar yang terasah untuk negara-negara maju. Banyaknya jumlah penduduk miskin dan berpendidikan rendah membuat pesan pemasaran harus diadaptasi sesuai tingkat pendidikan mereka. Dalam konteks ini, para pemain lokal sering sudah mendapatkan pengetahuan tersebut secara tacit, sementara para pemain multinasional memerlukan waktu untuk merubah strategi dan paradigma mereka. Kelebihan pemain lokal dan kekurangan perusahaan multinasional tersebut seharusnya dipergunakan secara maksimal oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri.
Para perusahaan lokal seharusnya juga bisa memanfaatkan pembagian pasar negara berkembang berdasarkan hasil riset Tarun Khanna dan Krishna G. Palepu (keduanya dari Harvard Business School). Menurut mereka, pasar negara berkembang terdiri dari 4 tingkatan: global, glocal, local, dan bottom. Keempat lapis pasar ini membentuk sebuah piramida dengan lapisan global yang memiliki jumlah konsumen paling sedikit terletak di atas dan lapisan bottom dengan jumlah konsumen terbesar menempati posisi terbawah.
Konsumen yang menempati pasar global menginginkan produk dengan atribut dan kualitas yang sama dengan para konsumen di negara-negara maju. Mereka bersedia membayar lebih untuk produk-produk tersebut. Mereka adalah para pembeli barang-barang bermutu seperti tas Louis Vuitton atau jam tangan Rolex yang asli. Di bawah pasar global, kita menemukan pasar glocal. Penghuni pasar ini masih membutuhkan barang-barang berkualitas tinggi, tetapi kesediaan mereka mengeluarkan uang sedikit lebih rendah dibanding konsumen di tingkat global. Mereka adalah para konsumen yang suka menginap di hotel-hotel berbintang lima sambil menjinjing notebook dan telepon genggam model terbaru. Setelah itu, kita menemukan para penghuni lapisan local yang sudah cukup puas dengan produk-produk lokal dengan harga lebih murah. Dan di bagian paling bawah, di bottom of the pyramid, terdapat kelas konsumen yang hanya bisa membeli produk-produk termurah dalam jumlah seminimal mungkin.
Di segmen global, perusahaan multinasional memang mendominasi. Jarang ada perusahaan lokal yang bisa menandingi mereka. Sementara itu, para perusahaan lokal kebanyakan bersaing antar sesama mereka sendiri di tingkat local. Kedua lapisan ini, global dan local, menciptakan dua medan persaingan yang berbeda. Misalnya untuk industri minuman air mineral kemasan, Evian bersaing dengan Perrier dan Dasani di segmen global, sementara Aqua bertempur dengan Ades dan Total di segmen local.
Bagaimana dengan di lapisan glocal? Ternyata, di sinilah pertempuran paling seru sering terjadi. Perusahaan multinasional yang melihat kecilnya jumlah penghuni segmen global, mau tak mau harus menjangkau ke bawah (tetapi tidak terlalu bawah untuk melindungi brand positioning-nya). Sementara itu, para pemain lokal yang ingin tumbuh terpaksa melirik ke atas agar mampu menjual dengan marjin keuntungan yang lebih tinggi. Kedua jenis perusahaan tersebut, tanpa bisa dihindari lagi, bertemu di segmen glocal. Siapa yang menang? Tentu saja jawabannya tergantung pada sejauh mana perusahaan tersebut mampu memanfaatkan competitive advantage-nya dengan baik relatif terhadap para kompetitor mereka. Di sini, strategi yang baik dan inovasi terus menerus memegang kunci.
Di tengah serunya perebutan pasar di tingkat global, glocal, dan local, banyak perusahaan yang melupakan segmen bottom. Padahal seperti yang sudah pernah dibahas di beberapa artikel lainnya (misalnya: Melayani Piramida Terbawah dan Kala Pasien Negara Maju Terbang ke Asia), di pasar ini, persaingan relatif ringan dan menjanjikan potensi besar bagi mereka yang berhasil menggarapnya. Hanya saja, untuk melayani segmen ini, perusahaan harus merubah cara pikir dan pendekatan-pendekatan mereka secara radikal.
Perusahaan-perusahaan lokal, karena itu, sebenarnya tidak perlu takut bersaing dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Yang terpenting adalah memilih medan persaingan dan strategi bersaing yang benar. Tentu saja, jangan langsung bersaing di pasar glocal dan terlebih-lebih global bila perusahaan Anda belum kuat di lapisan local. (Pengecualian tentu saja bisa diberikan untuk perusahaan lokal yang cukup percaya diri untuk langsung bermain di tingkatan glocal seperti J.Co atau Excelso.) Bangun kekuatan Anda dan manfaatkan pengetahuan Anda akan konteks lokal untuk menguasai segmen local dan bottom terlebih dahulu. Setelah menuai keberhasilan di sana, barulah lirik segmen glocal dan mulai membangun kekuatan yang lebih besar misalnya dengan merekrut lulusan perguruan tinggi terbaik dan mendapatkan sertifikasi internasional seperti ISO. Barulah setelah itu, Anda mulai melirik pasar global. Namun sebisa mungkin, berekspansilah terlebih dahulu ke negara-negara berkembang lainnya sebelum merambah ke negara-negara maju yang menuntut kualitas produk dan reputasi merek yang lebih tinggi. Sama halnya dengan para pendaki gunung, untuk sukses mendaki piramida ini, Anda harus membangun base camps di beberapa tempat terlebih dahulu untuk menyusun kekuatan dan menyimpan energi sebelum mendaki ke tempat yang lebih tinggi.
Perusahaan-perusahaan dari negara berkembang seperti Haier, Huawei, Lenovo, Wahaha Group (Cina); Infosys, Tata Group, Wipro (India); AmBev (Brazil), SABMiller (Afsel), Jollibee Foods (Filipina), atau S.A.C.I Falabella (Cile) adalah beberapa contoh perusahaan dari negara berkembang yang akhirnya berhasil menjadi pemain global dengan menjalankan strategi mendaki yang benar. Mereka bisa, perusahaan Anda pasti bisa juga.

Pembahasan.

-. whole problem is :

1. Perusahaan lokal memiliki kekawatiran yang terlalu besar terhadap perusahaan multinasional sehingga tidak berfikir jernih untuk menghadapi situasi seperti itu dan membuat perusahaan lokal tidak mengambil tindakan apapun untuk mengimbangi perusahaan multi nasional.

2. perusahaan kurang mengetahui di posisi pangsa pasar mana mereka berada dan akan berkembang ke arah mana nantinya perusahaan tersebut karena hal inilah perusahaan lokal kurang berkembang dengan baik sehingga perusahaan multinasional dapat memanfaatkan celah tersebut.

-. Knowledge yang ada :
1. perusahaan harus tahu dimana pangsa pasar tempat dia berada dan akan menuju ke arah mana perusahaan tersebut.

2. Berikut adalah pasar negara berkembang terdiri dari 4 tingkatan yaitu :
-. global = perusahaan multinasional memang mendominasi.-. glocal = Perusahaan multinasional yang melihat kecilnya jumlah penghuni segmen global, mau tak mau harus menjangkau ke bawah (tetapi tidak terlalu bawah untuk melindungi brand positioning-nya). Sementara itu, para pemain lokal yang ingin tumbuh terpaksa melirik ke atas agar mampu menjual dengan marjin keuntungan yang lebih tinggi. Kedua jenis perusahaan tersebut, tanpa bisa dihindari lagi, bertemu di segmen glocal.
-. local = para perusahaan lokal kebanyakan bersaing antar sesama mereka sendiri di tingkat local.
-. bottom = pangsa pasar yang beroprasi pada kalangan bawah.

Dari artikel diatas jelas kita harus memiliki knowledge yang cukup untuk menentukan disegmen mana kita berada dan kearah mana kita akan mengembangkan segmen(pangsa pasar berikutnya) dengan menggunakan Knowledge 4 tingkatan pasar Negara berkembang yaitu : global, glocal, local, dan bottom.
Dengan mempelajari tingkatan-tingkatan tersebut dengan baik kita akan mendapatkan sebuah acuan yang tepat kemana arah perusahaan akan bergerak dan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi.
Oleh sebab itu janganlah kita terlalu takut akan kedatangan perusahaan multinasional karna perusahaan tersebut belom begitu mengerti iklim usahaan yang ada di negara berkembang jadi bagi perusahaan lokal harus lebih bersiap untuk menghadapi tantangan tersebut (jadilah Tuan rumah dinegeri sendiri)….!!!

Tags:

Proses inovasi dalam ‘balanced scorecard’

Posted in: case individu by dinda on April 13, 2010

Saat ini, semakin banyak perusahaan yang menyadari pentingnya menyeimbangkan sukses jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Tak heran bila metode-metode seperti balanced scorecard (BSC) dan varian-variannya cukup populer belakangan ini. Dalam BSC, ukuran metrik untuk menilai kesuksesan sebuah perusahaan tidak melulu ukuran finansial saja seperti laba bersih, namun juga mencakup ukuran-ukuran yang melibatkan sudut pandang pelanggan, proses internal, dan pembelajaran organisasi. Keempat hal itulah yang menjadi tiang-tiang penyangga BSC yang harus dikaitkan dengan pencapaian divisi, departemen, sampai ke tingkat individu.
Menariknya, walau BSC cukup populer, ternyata masih jarang terdapat perusahaan yang menghubungkan pemakaian BSC dengan upaya-upaya inovasi. Robert Kaplan dan David Norton, dua penggagas BSC mengakui sendiri hal tersebut. Inovasi, menurut mereka, adalah kunci untuk mencapai keunggulan berkesinambungan. Untuk beberapa industri, berinovasi bisa jadi merupakan proses internal terpenting dalam organisasi. Namun proses ini biasanya justru mendapatkan perhatian paling sedikit dari jajaran puncak manajemen dibanding proses-proses lainnya yang lebih mudah kelihatan hasilnya. Kaplan dan Norton sendiri juga menganjurkan setiap perusahaan setidaknya memiliki satu metrik yang berkaitan dengan inovasi dalam BSC-nya. Tanpa itu, perusahaan tidak mungkin membangun sukses untuk jangka panjang.
Bila memang benar proses-proses inovasi harus dimasukkan ke dalam BSC, bagaimana memulainya? Dalam buku mereka Strategy Maps, Kaplan dan Norton membagi proses inovasi secara generik ke dalam 4 proses utama: mengidentifikasi peluang, mengelola portofolio, merancang dan mengembangkan, dan meluncurkan produk baru. Untuk setiap proses di atas harus dikembangkan ukuran-ukuran metrik yang sesuai dengan konteks perusahaan bersangkutan.
Kita mulai dari proses pertama: mengidentifikasi peluang. Proses ini mencakup pengumpulan dan pengembangan ide-ide produk baru. Sumber utama tentu saja dari R&D, tetapi sumber-sumber lain tetap harus dieksplorasi. Universitas, lembaga-lembaga riset pemerintah, para konsumen, para pemasok dan distributor, atau ide-ide dari model open innovation harus dijadikan alternatif lain. Ukuran-ukuran yang bisa dijadikan sebagai metrik di sini mencakup jumlah ide yang berhasil diperoleh, disaring, dan diteruskan ke bagian pengembangan.
Proses kedua, mengelola portofolio penting karena dengan sumber daya terbatas, perusahaan harus menentukan proyek pengembangan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak. Portofolio juga memungkinkan perusahaan menyeimbangkan proyek-proyek yang bisa memberikan pengembalian jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Kepincangan pada portofolio akan menyebabkan perusahaan mengalami masalah. Salah satu metode paling terkenal untuk mengelola portofolio di sini adalah aggregate project plan. Untuk mengelola portofolio tersebut, metrik yang bisa dipakai antara lain: jumlah proyek-proyek yang berada di portofolio dan distribusinya, jumlah investasi aktual versus rencana, jumlah kerja sama yang berhasil dijalin, dlsb.
Setelah itu kita masuk ke proses berikutnya, merancang dan mengembangkan. Di sinilah kita berjumpa dengan inti dari proses pengembangan produk baru. Proses yang berhasil akan menghasilkan produk yang siap untuk diproduksi masal dan dipasarkan sesuai kebutuhan calon pelanggan. Selain itu, proses ini juga harus memenuhi persyaratan waktu dan biaya yang sudah ditentukan. Pengelolaan proses ini penting mengingat semakin besarnya biaya pengembangan dewasa ini dan semakin rumitnya interaksi produk baru dengan sistem-sistem yang sudah ada, termasuk dengan komponen-komponen yang dikembangkan perusahaan komplementor lainnya. Sebagai contoh, di industri farmasi, diperkirakan biaya pengembangan produk baru bisa mencapai ratusan juta USD. Untuk mengukur kesuksesan proses ini, beberapa metrik yang bisa dipakai adalah: jumlah paten yang dihasilkan, jumlah proyek yang berhasil diselesaikan, jumlah proyek yang selesai tepat waktu, rata-rata waktu pengembangan produk baru, jumlah investasi aktual versus rencana, dlsb.
Proses terakhir adalah membawa produk baru tersebut ke pasar. Di sini, produk akhir siap diluncurkan setelah melalui pemeriksaan dan pengujian akhir secara intensif. Departemen pemasaran dan penjualan mulai melibatkan diri pada tahap ini. Produksi dimulai dulu pada skala kecil, dan kadang dilakukan uji coba penjualan terbatas. Setelah volume penjualan mulai meningkat, produksi skala besar baru berjalan. Metrik yang sering dipakai di sini antara lain: waktu yang dibutuhkan dari pengenalan produk ke produksi masal, jumlah produk baru yang berhasil diluncurkan, biaya produksi aktual versus rencana, jumlah produk cacat, tingkat kepuasan pelanggan, pendapatan 6 bulan pertama, dlsb.
Metrik-metrik di atas bersifat generik dan tidak bisa ditiru mentah-mentah untuk perusahaan Anda. Anda tetap harus mengembangkan metrik-metrik Anda sendiri sesuai konteks internal perusahaan dan industri Anda sendiri. Namun setidaknya tulisan ini bisa memberikan gambaran bagaimana caranya memasukkan proses-proses inovasi ke dalam BSC perusahaan Anda. Tanpa memasukkan proses-proses inovasi, BSC perusahaan Anda belum bisa disebut balanced.

pembahasan.

-. Whole problem is :
1. Kurangnya pemahaman perusahaan tentang eratnya Balance Scorecard dengan Inovasi yang dibutuhkan oleh sebuah perusahaan untuk dapat berkembang menjadi lebih baik lagi.

2. perusahaan khususnya pimpinan hanya melihat alur financial perusahaan saja tanpa memperhatikan Inovasi-Inovasi yang dibutuhkan bagi perusahaan.

-. Knowledge yang ada :
1. untuk mengetahui betapa pentingnya inovasi pada perusahaan dan hubungan nya deng balance scorecard dengan menggunakan proses inovasi secara generik yang terbagi ke dalam 4 proses utama:
-. mengidentifikasi peluang,
-. mengelola portofolio, -. merancang dan mengembangkan,
-. meluncurkan produk baru.

Dalam artikel diatas kita mengetahui kegunaan Balance Scorecard selain untuk menyeimbangkan kegiatan di perusahaan ternyata balance scorecard juga dapat menumbuhkan Inovasi bagi perusahaan,
Inovasi sangatlah penting bagi setiap perusahaan kerena di eraglobalisasi seperti sekarang ini yang paling penting adalah untuk berinovasi baik itu dalam segi ekonomi maupun produk-produk baru yang akan di produksi oleh sebuah perusahaan.
Knowledge Balance Scorecard memiliki 4 proses utama: mengidentifikasi peluang, mengelola portofolio, merancang dan mengembangkan, dan meluncurkan produk baru. Untuk setiap proses harus dikembangkan ukuran-ukuran metrik yang sesuai dengan konteks perusahaan bersangkutan, karena tiap perusahaan memiliki metrik dan portofolio yang berbeda-beda sehingga tidak mudah untuk di jiplak oleh perusahaan lainnya.

Tags:

‘Stage-gate process’

Posted in: case individu by dinda on April 13, 2010

‘Stage-gate process’

Sistem keamanan berlapis sudah sering dipakai untuk mengurangi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Di bandara, misalnya, kita harus melewati beberapa detektor logam dan pemeriksaan X-ray untuk barang bawaan sebelum diijinkan masuk ke ruang tunggu keberangkatan. Selain itu, kita juga diwajibkan menunjukkan tiket atau paspor sebelum diperbolehkan naik ke pesawat. Untuk mengakses sebuah dokumen penting di komputer, kita sering harus mengingat beberapa passwords yang berbeda. Memang tidak ada jaminan sistem keamanan berlapis seperti itu mampu menghilangkan semua potensi masalah, tetapi penyaringan berlapis tersebut terbukti mampu mengurangi sebagian besar potensi kerugian yang tak diharapkan.
Sistem “keamanan” berlapis seperti itu sebenarnya juga dibutuhkan untuk pengembangan produk baru mengingat proses ini penuh dengan resiko kegagalan. Sistem pengamanan di sini adalah dalam bentuk evaluasi proyek yang berlapis. Pengembangan produk baru yang tidak memiliki tahap-tahap evaluasi berpotensi memboroskan sumber daya perusahaan dengan sia-sia. Kebutuhan pelanggan sering berubah di tengah upaya pengembangan, sementara dari internal, kurangnya data riset sering membuat pengembangan didasari atas asumsi-asumsi yang keliru. Sama halnya dengan sistem pengamanan berlapis di bandara atau sistem komputer, evaluasi proyek bertahap seperti itu dibutuhkan untuk meminimalkan resiko, tetapi resiko di sini dalam bentuk penggunaan sumber daya perusahaan yang terbatas (dalam bentuk uang, waktu, dan tenaga). Dengan mengurangi komitmen sumber daya ke proyek yang kurang menjanjikan dan mengarahkan ke proyek yang lebih menjanjikan, perusahaan akan mampu memaksimalkan pengembalian investasinya.
Model paling terkenal dan banyak dipakai untuk evaluasi bertahap seperti itu dikembangkan oleh Robert C. Cooper. Pada model generik yang diusulkan Cooper, model yang disebut dengan stage-gate process ini memiliki 5 tahap evaluasi: scoping, business case, development, testing & validation, dan launch. Setiap tahap evaluasi diibaratkan sebagai sebuah pagar (gate). Pagar ke tahap berikutnya akan dibuka bila evaluasi memberikan sinyal positif. Pada tahap awal (scoping), ide tersebut akan dievaluasi apakah layak untuk ditindaklanjuti. Bila ya, pagar pertama dibuka. Kemudian untuk melewati pagar kedua (business case), ide tersebut harus dinilai layak untuk melewati pengumpulan informasi awal secara ekstensif baik dari sisi pasar, finansial, ataupun teknis. Pagar ketiga (development) akan dibuka bila ide tersebut dianggap mampu menghasilkan keuntungan ekonomis sesuai hasil analisis dari sisi pasar, finansial, dan teknis. Pagar keempat (testing & validation) dibuka bila proyek mampu menghasilkan produk awal yang bisa diuji coba secara terbatas. Kemudian pagar terakhir (launch) akan terbuka bila produk tersebut dianggap sudah bisa diluncurkan secara luas dan menghasilkan keuntungan buat perusahaan. Model generik tersebut tentu harus diadaptasi berdasarkan kebutuhan masing-masing perusahaan. Perusahaan yang memiliki lebih dari satu jenis produk mungkin membutuhkan jumlah tahap yang berbeda untuk masing-masing produknya.
Pada setiap tahap, sebuah tim lintas fungsi akan melakukan evaluasi dan memutuskan apakah proyek akan diteruskan atau dihentikan. Untuk menunjang keputusan mereka, informasi terbaru dari sisi pasar, finansial, dan teknis dikumpulkan. Proses evaluasi ini terdiri dari 3 komponen: deliverables (hasil dari tahap sebelumnya), criteria (kriteria yang harus dipenuhi untuk masuk ke tahap berikutnya), dan outputs (hasil evaluasi yang bisa berupa: teruskan, hentikan, tunda, atau daur ulang. Outputs juga termasuk rencana pelaksanaan dan hasil yang diharapkan untuk evaluasi tahap berikutnya.)
Metode stage-gate ini terbukti manjur mengurangi resiko proyek pengembangan produk baru. Salah satu alasan penting mengapa metode yang kelihatan sederhana ini manjur adalah sifat pembiayaan dari sebuah proyek pengembangan produk. Untuk melahirkan sebuah ide dan menuliskannya dalam bentuk proposal, kita mungkin cuma butuh sekitar Rp. 1 juta. Jumlah tersebut akan meningkat 10x lipat untuk melakukan riset pendahuluan kelayakan ide. Ketika rancangan dan spesifikasi dibuat, jumlah tersebut membengkak 10x lipat lagi. Pengembangan prototipe dan riset pasar secara besar-besaran membutuhkan kenaikan 10x lipat lagi. Bila itu lolos, dana 10x lipat lebih besar dibutuhkan untuk membangun pilot plan dan uji coba pasar. Kemudian tahap akhir, pembangunan pabrik dan peluncuran produk membutuhkan biaya 10x lipat dari biaya sebelumnya.
Karena biaya membengkak secara eksponensial sejalan dengan berjalannya sebuah proyek, alangkah baiknya bila ide yang tidak memiliki kemungkinan berhasil di pasar bisa dibunuh secepat mungkin. Evaluasi stage-gate adalah sarana yang sangat tepat untuk melakukan hal itu. Tanpa adanya evaluasi berkala secara sistematis dan disiplin seperti itu, tidak jarang proyek pengembangan produk baru yang tidak memiliki kemungkinan berhasil akan terus dijalankan sampai akhir. Perusahaan-perusahaan seperti Corning, Exxon, IBM, P&G, General Motors, dan lainnya telah menggunakan pendekatan ini. Pada sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2001, sekitar 56% perusahaan di Eropa dan 59% perusahaan di Jepang menerapkan proses stage-gate atau variasinya untuk pengembangan produk baru.

Pembahasan.

-. Whole Problem is :
1. Sistem berlapis (metode stage-gate) yang diterapkan terlalukaku sehingga menyebabkan ide-ide yang bagus kurang begitu di perhatikan karena perusahaan sedang berfokus pada sebuah riset yang sedang dikembangkan, sehingga ide tersebut butuh waktu lama untuk di lihat oleh perusahaan dan mungkin perusahaan lain telah memproduksi produk tersebut lebih dahulu, jadi perusahaan kehilangan uang, waktu dan tenaga.

2. efek dari metode stage-gate yang paling buruk adalah biaya yang di keluarkan sangatlah besar sehingga bila produk yang dihasilkan tidak berhasil dipasaran akan berakibat fata bagi perusahaan tersebut.

Knowledge yang ada :
1. Metode stage-gate yang baik bagi sebuah perusahaan yaitu dengan menerapkan 5 langkah sebagai berikut:
-. Pada tahap awal (scoping), ide tersebut akan dievaluasi apakah layak untuk ditindaklanjuti.
-. pagar kedua (business case), ide tersebut harus dinilai layak untuk melewati pengumpulan informasi awal secara ekstensif baik dari sisi pasar, finansial, ataupun teknis.
-. Pagar ketiga (development) akan dibuka bila ide tersebut dianggap mampu menghasilkan keuntungan ekonomis sesuai hasil analisis dari sisi pasar, finansial, dan teknis.
-. Pagar keempat (testing & validation) dibuka bila proyek mampu menghasilkan produk awal yang bisa diuji coba secara terbatas.
-. pagar ke lima (launch) akan terbuka bila produk tersebut dianggap sudah bisa diluncurkan secara luas dan menghasilkan keuntungan buat perusahaan.

Jadi setiap perusahaan yang beroperasi pada pemroduksian sebuah produk seperti IBM, APPLE, dll, metode stage-gate tersebut dapat berguna bagi perusahaan untuk dapat memproduksi produk-produk yang lebih berkualitan dan sesuai dengan perkembangan jaman yang ada dan juga metode tersebut dapat pula membantu perusahaan melewati kegagalan penjualan produk di pasaran sehingga perusahaan tidak rugi besar.
namu metode tersebut harus pula disesuaikan dengan kriteria perusahaan yang akan menggunakannya karena beda perusahaan beda pula penerapan metode tersebut tergantung pada kriteria perusahaan itu sendiri.

Tags:

Home Depot dan Toyota

Posted in: case individu by dinda on April 13, 2010

Home Depot dan Toyota

Setelah Robert Nardelli kalah dalam perebutan kursi CEO GE sebagai penerus Jack Welch, dia pindah ke Home Depot dengan jabatan CEO. Kedatangannya ke perusahaan penjual alat-alat pertukangan tersebut di bulan Desember 2000 disambut dengan harapan tinggi. Bagaimanapun Nardelli adalah salah satu eksekutif terbaik selama kiprahnya di GE.
Tetapi di awal tahun 2007 ini, tepatnya tanggal 3 Januari 2007, Nardelli resmi dipecat dari Home Depot karena dianggap telah mengobrak-abrik budaya desentralistik Home Depot dan membuat marah para pemegang saham dengan mengambil kompensasi selangit walau dia dianggap tidak berhasil meningkatkan kinerja Home Depot. Apa pasal? Apakah kesuksesan Nardelli di GE hanya sekedar kebetulan belaka? Ataukah dukungan-dukungan yang membuatnya sukses di GE tidak bisa dipindahkan begitu saja ke Home Depot? Apakah hal itu disebabkan perbedaan industri GE dan Home Depot? Lalu kenapa Lou Gerstner yang tidak memiliki pengalaman di industri teknologi informasi sebelumnya mampu mengembalikan kejayaan IBM, sang raksasa biru? Sebuah kebetulan? Apakah para pemimpin yang berhasil hanya sekedar beruntung mengingat banyak pemimpin yang berhasil di satu tempat belum menjamin keberhasilan mereka di tempat lain?
Teka-teki tersebut sudah berumur panjang. Adalah Boris Groysberg, Andrew N. McLean, dan Nitin Nohria (ketiganya dari Harvard Business School) yang berusaha memecahkan teka-teki ini dengan mengajukan pertanyaan: “Apakah para keberhasilan seorang pemimpin bisa dipindahkan begitu saja dari satu tempat ke tempat lainnya?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mereka berusaha melacak kinerja para mantan eksekutif GE yang pindah ke perusahaan lain. Seperti diduga sebelumnya, ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Keberhasilan dan kegagalan tersebut bisa saja dianggap sama permainan melempar koin, tetapi para akademis tersebut berusaha mencari penjelasan hubungan sebab akibat yang lebih masuk akal.
Alhasil, mereka menyimpulkan seorang pemimpin akan berhasil di tempat lain bila human capital sang pemimpin sesuai dengan tantangan yang dihadapi perusahaan bersangkutan. Human capital tersebut mencakup 5 aspek: general management (pengetahuan akan kepemimpinan secara umum, negosiasi, dan pengambilan keputusan), strategic (keahlian khusus untuk mengatasi tantangan strategis perusahaan seperti pertumbuhan atau pengurangan biaya), industry (pengetahuan khusus akan pasar, konsumen, atau regulasi sebuah industri), relationship (kemampuan menjalin hubungan dengan kelompok kerja tertentu), dan company-specific (pengatahuan budaya perusahaan, rutinitas, prosedur, proses sebuah perusahaan tertentu).
Dari kelima aspek tersebut, general management human capital adalah yang paling mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Menyusul berikutnya secara berturut-turut strategic, industry, dan relationship skills. Dan yang paling sulit dipindahkan adalah company-specific human capital. Nah, dari kelima aspek tersebut, ternyata ada dua aspek yang menunjukkan pengaruh terbesar terhadap keberhasilan pemimpin baru: strategic dan company-specific human capital. Dengan kata lain, seorang pemimpin baru memiliki kemungkinan berhasil paling tinggi bila kemampuan strategic dan company-specific yang dimilikinya sesuai dengan tempat barunya.
Bila kita kembali ke kasus Robert Nardelli dan Home Depot, kita mungkin harus mengakui kepiawaian Nardelli dalam aspek general management. Nardelli juga merekrut banyak mantan bawahan dan koleganya dari GE ke Home Depot. Dengan langkah tersebut, dia berhasil meningkatkan relationship human capital-nya karena Nardelli dengan mudah menyesuaikan diri dengan kelompok yang sudah dikenalnya dengan baik. Tetapi untuk ketiga aspek lainnya, Nardelli benar-benar bermasalah. Tanpa pengalaman di dunia ritel dan industri pertukangan, baik industry atau company-specific human capital-nya jeblok. Namun itu bukan apa-apa dibanding dengan kesalahan strategisnya, yang dianggap sebagai biang kerok kejatuhannya. Home Depot yang memiliki budaya kuat sebagai perusahaan yang menjunjung desentralisasi dan pelayanan konsumen diobrak-abrik menjadi perusahaan yang tersentralisasi dan berfokus pada penghematan biaya. Nardelli tentu sulit disalahkan karena keberhasilannya di GE disebabkan kemampuannya melakukan efisiensi. Keberhasilan tersebut bisa jadi membuat Nardelli melihat semua masalah melalui kaca mata yang sama.
Teori yang dikemukakan oleh ketiga akademis dari Harvard tersebut hampir sama dengan teori dari Morgan McCall, profesor dari Marshall School of Business at University of Southern California. McCall menyimpulkan keberhasilan seorang eksekutif di sebuah perusahaan sangat ditentukan oleh pengalaman mereka sebelumnya. Penugasan seorang eksekutif di sebuah perusahaan bisa dianggap sebagai kurikulum pelajaran. Eksekutif yang bergelut dengan masalah efisiensi dan berhasil akan menjadi eksekutif yang baik bila menghadapi penugasan serupa. Eksekutif yang memiliki pengalaman segudang dalam menbangun perusahaan start-up kemungkinan besar akan sukses di perusahaan start-up yang baru.
Karena itu, upaya mencari pemimpin yang memiliki tongkat ajaib yang mampu menyelesaikan semua masalah adalah pencarian yang sia-sia. Bila Anda ingin membangun perusahaan yang berani mengambil resiko, carilah eksekutif atau manajer yang telah berhasil menghadapi tantangan serupa. Sebaliknya bila fokus perusahaan Anda adalah efisiensi, carilah eksekutif yang telah berpengalaman dalam bidang yang sama. Ingin mencari darah-darah baru untuk meningkatkan laju inovasi perusahaan Anda? Jangan cari orang-orang yang menyukai status quo dan efisiensi. Mereka mungkin cocok dan telah berhasil di tempat dan kondisi yang lain, tetapi jangan pernah mengharapkan keberhasilan mereka di tempat yang baru.
Kebijaksanaan ini tampaknya disadari benar oleh Toyota. Ketika mereka mengangkat seorang CEO baru di tahun 1995, mereka memilih Hiroshi Okuda, orang pertama di luar anggota keluarga Toyota yang mendirikan Toyota. Tidak seperti para pendahulunya, Okuda dikenal lebih agresif, blak-blakan, dan tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang engineering. Tetapi Toyota memiliki alasan memilih Okuda karena dia dianggap sesuai dengan tantangan globalisasi yang sedang dihadapi Toyota. Pemilihan tersebut ternyata tidak salah. Terbukti di bawah kepemimpinan beliau, Toyota melaju kencang menjadi perusahaan otomotif paling disegani di dunia dewasa ini.
Kejelian Toyota tidak hanya bisa dilihat di level CEO. Ketika perusahaan ini memutuskan mengembangkan mobil hybrid (yang merupakan cikal bakal Prius), Toyota memilih Takeshi Uchiyamada sebagai chief engineer. Uchiyamada bukanlah sosok yang dikenal dan berpengalaman di bidang engineering. Dia lebih dikenal sebagai seorang peneliti handal. Namun karena Toyota melihat proyek Prius ini membutuhkan terobosan-terobosan besar dan akan memerlukan upaya-upaya penelitian, Uchiyamada dipilih untuk proyek prestisius ini. Sebagai orang “luar”, Uchiyamada dianggap lebih mampu melihat tantangan tersebut dari kaca mata baru. Pemilihan tersebut benar-benar tepat karena Toyota berhasil mengembangkan mobil Prius sesuai dengan jadwal.

Pembahasan:

-. Whole problem is :
1. Perusahaan Home depot tidak memeriksa latar belakang karir dari pemegang jabatan CEO yang baru.
2. Orang yang mengisi Jabatan CEO di home depot tidak menggunakan / menerapkan Strategi yang tepat bagi tempat kerja baru nya, sehingga mengakibatkan kinerja perusahaan menurun.
3. Terlalu percaya apa bila seorang CEO yang berhasil di perusahaan lain pasti akan dapat berhasil pula bila dia bekerja di perussahaan yang berbeda.

-. Knowledge yang ada :
1. Berhati – hatilah ketikan perusahaan akan mengangkat seseorang menjadi CEO pada perusahaan, yang harus dilakukan cari tahu latar belakang dari calon orang yang akan di pilih perusahaan seperti pendidikan, tempat kerjanya yang lama dan apakah sesuai dengan tujuan perusahaan dimasa depan (yang ingin di capai).

2. untuk memilih sebuah calon pemimpin yang tepat sebaiknya dengan menggunakan Knowledge Human Capital
yang terdiri dari 5 aspek penting bagi perusahaan yaitu :
-. general management (pengetahuan akan kepemimpinan secara umum, negosiasi, dan pengambilan keputusan).
-. strategic (keahlian khusus untuk mengatasi tantangan strategis perusahaan seperti pertumbuhan atau pengurangan biaya).
-. industry (pengetahuan khusus akan pasar, konsumen, atau regulasi sebuah industri).
-. relationship (kemampuan menjalin hubungan dengan kelompok kerja tertentu).
-. company-specific (pengatahuan budaya perusahaan, rutinitas, prosedur, proses sebuah perusahaan tertentu).

Jadi dalam kisah di atas kita dapat tau bagaimana susahnya memilih pemimpin yang tepat untuk perusahaan karena bila tidak teliti akan menjadi bumerang bagi perusahaan itu sendiri, oleh sebab itu untuk memilih sebuah pemimpin yang tepat dengan menerapkan Knowledge Human Capital yang terdiri atas 5 aspek penting bagi perusahaan dan calon pemimpin perusahaan yang baru.
Oleh sebab itu jangan menilai kalau seseorang dapat memajukan perusahaannya dengan baik pasti kalau dia pindah tempat bekerja dia pun akan mengalami kesuksesan serupa.

Tags:

(Novo Nordisk)

Posted in: case individu by dinda on April 13, 2010

LATAR BELAKANG PERUSAHAAN

Novo Nordisk didirikan pada tahun 1989, sebagai hasil merger dua perusahaan farmasi Denmark, Nordisk Gentofte dan Novo Industri. Sebelum merger, kedua perusahaan tersebut saling berkompetisi satu sama lain. Kedua perusahaan tersebut didirikan pada tahun 1920. Kedua perusahaan tersebut menjadi pemimpin dunia dalam penyaluran hormon insulin sebelum mereka merger. Novo Nordisk bermarkas di bagian utara Copenhagen, salah satu perusahaan bioteknologi terbesar di dunia, dan menjadi kedua terbesar di dunia yang memproduksi insulin, yaitu digunakan untuk pengobatan diabetes, dan produsen terbesar di dunia industri enzim, yang digunakan oleh industri makanan. Produk farmasi lainnya meliputi persiapan hormon untuk penggunaan gineocologis, pertumbuhan hormon manusia dan persiapan untuk perawatan dari hemofilia. Untuk strategi yang dapat diperkirakan oleh Novo Nordisk di masa yang akan datang ialah dengan mengarahkan Novo Nordisk menjadi pemimpin suplier insulin dan sistem pengiriman insulin. Bisnis farmasi ini melebihi 75 % total sales Novo Nordisk. Perputaran perusahaan berada pada jumlah 20 juta Krone Denmark, yaitu $1,8 juta.

Novo Nordisk adalah salah satu perusahaan terbesar di Denmark. Namun bagi standar dunia, Novo Nordisk terukur kecil untuk sebuah perusahaan farmasi. Dengan 15.000 tenaga kerja di dunia yang mewakili keseluruhan operasi pada 68 negara, yang memiliki fasilitas pabrikasi pada 7 negara. Novo Nordisk adalah salah satu perusahaan Denmark yang paling dikenal di internasional. Tidak dilebih – lebihkan apabila menjabarkan Novo Nordisk adalah organisasi yang mendasarkan pengetahuan. Melihat tidak kurang dari 3.000 staf nya sibuk dengan R & D dan sekitar 16 % pendapatan penjualannya diinvestasikan ke dalam aktivitas ini. Kata bijak dari perusahaan Novo Nordisk adalah ” Pengetahuan adalah bisnis kami. ”

Berada pada bisnis farmasi, Novo Nordisk adalah perusahaan yang sadar akan etika. Di Denmark, Novo Nordisk dirasa cukup solid, jika sedikit banyak pemikiran tradisional pada perusahaan, namun akan salah apabila menghargai ini sebagai konservatif. Pimpinan eksekutif, Mads Ovlisen adalah salah satu pimpinan yang dihormati di Denmark, dan perusahaan tidak mempermasalahkan dalam menarik pelajar – pelajar terbaik dalam berbagai ilmu, bisnis dan disiplin ilmu lainnya. Sebagai pemain kecil pada industri, hampir terkenal karena nama buruk dalam melakukan merger besar – besaran, dan merger tidak berhasil. Setelah fokus dan tahu bahwa ini harus cepat dan inovatif dalam membantah ketidak disukainya sebagai salah satu korporasi besar. Budaya dari perusahaan Novo Nordisk ialah berlandaskan pada nilai sistem yang kuat, yang berharap dikenal sebagai budaya yang berlandaskan pengetahuan, etika dan berpandangan internasional. Perusahaan sadar untuk berhati – hati pada manajemen yang tidak taat, yaitu sebagai gairah jangka pendek yang dapat membelokkan staf kunci dari tugas utama seperti menjaga hubungan baik dengan perbedaan jaringan internasional dari pemegang kepentingan.

Seperti halnya dari semua kasus merger, kedua perusahaan yang datang dari persaingan menciptakan tegangan dan pergeseran, managemen memberikan dukungan kepada karyawan tanpa melihat afliasi mereka sebelumnya. Pada awal hingga pertengahan tahun 1990, perusahaan mulai perlahan mengalami penurunan. Ini datang dari kekuatan level atas dan para pengurus. Dan konsekuensi yang dihadapi, manajemen perusahaan merasa tidak dapat menyentuh para pekerja bahkan di Denmark, dan tidak dapat mengenali para pekerja di negara lain. Hal ini mendorong beberapa inisiatif untuk meredam rasa kurangnya komunikasi antara komunikasi vertikal dan horizontal. Sebagai contoh, mengembangkan konsep cara dari manajemen dan cara ideal lainnya untuk menganjurkan pelatihan yang lebih baik sepanjang perusahaan pada setiap level dan pada setiap lokasi. Dan satu inisiatif , berfokus pada identifikasi apa yang dibutuhkan untuk membuat cabang internasional merasa lebih dilibatkan dan bernilai diantara perusahaan, ini adalah pokok dari studi kasus ini.

Visi 21 dan Cara Manajemen Novo Nordisk

Dengan mergernya perusahaan pada tahun 1989, mengharuskan untuk pembentukan sebuah platform strategis bagi perusahaan yang baru. Pada tahun 1990, terbentuklah sebuah visi 21. Yaitu sebagai pernyataan visi dan misi pemikiran bisnis Novo Nordisk. Seperti halnya sebuah kode etis bagi seluruh manager dan para pekerja tanpa melihat status dan lokasi. Yang diringkas dalam 3 unsur : Penggunaan kami, Misi kami, dan Cara kami.

– Penggunaan Kami :

Bisnis kami adalah menemukan dan memasarkan produk yang memuaskan akan kebutuhan. Meningkatkan cara hidup dan bekerja orang – orang. Kami menemukan cara yang baik dalam memerangi penyakit dan menyediakan solusi biologi menjadi masalah industri.

– Misi Kami :

  • Menjadi yang terbaik pada bisnis kami
  • Tumbuh sebagai perusahaan independen, membuat penting semua bisnis, orang, dan kebijakan kami sendiri
  • Melakukan inovasi pada semua aktivitas dan agresif dalam membangun posisi leader pada bisnis kami
  • Membuat Novo Nordisk disukai oleh mitra nya
  • Menyampaikan kinerja keuangan yang kompetitif

– Cara Kami :

  • Tanggung jawab : semua aktivitas harus memiliki tanggung jawab untuk mendukung tujuan kami.
  • Ambisi : menempatkan standar yang paling tinggi pada semua aktivitas yang dilakukan untuk mendukung tujuan kami.
  • Terbuka dan jujur : semua proses bisnis kami harus terbuka dan jujur.
  • Dekat dengan pelanggan : mendekatkan diri dengan kesederhanaan kepada pelanggan.
  • Siap untuk berubah : kami harus meramalkan perubahan dan mempergunakan perubahan bagi keuntungan kami.
  • Responsif terhadap sekitar : kontribusi sosial

Latar belakang perusahaan

Tahun 1989, Novo Nordisk berdiri sebagai hasil merger antara dua perusahaan. Nordisk Gentofte dan Novo Industry. Kedua perusahaan tersebut berdiri pada tahun 1920. Dimana sebelum kedua perusahaan tersebut merger, mereka memimpin penyaluran dunia untuk hormon insulin. Novo Nordisk adalah salah satu perusahaan besar di Denmark, yang memiliki wilayah operasi pada 68 negara, 7 diantaranya memiliki fasilitas pabrikasi.

Seperti hampir kebanyakan kasus merger, terjadi tegangan dan pergeseran yang sebelumnya mereka adalah dua perusahaan yang saling bersaing. Pada awal sampai pertengahan tahun 1990, perusahaan mulai mengalami penurunan. Tidak hanya pada negara lain, bahkan penurunan juga terjadi di Denmark sebagai pusat dari perusahaan. Kurangnya komunikasi vertikal dan horisontal menjadi alasan utama dari penurunan tersebut. Sebagai contoh, bagaimana mengembangkan konsep dari cara manajemen Novo Nordisk dan lainnya untuk menganjurkan better practice sepanjang perusahaan pada semua level, dan semua lokasi. Namun hal yang baik tersebut mengalami kendala pada proses penyampaiannya.

Konsep facilitator

Inisiatif untuk meningkatkan komunikasi dan nilai sepanjang perusahaan di seluruh dunia dihasilkan dengan kreasi spesial pada 14 tugas kekuatan, yang disebut sebagai Facilitators atau pemberi kemudahan. Facilitator lebih sebagai penyampai atau pemberi kemudahan bukan sebagai penegak. Sebelumnya, perusahaan menguji calon – calon facilitator dan mempelajari aksi para facilitator. Facilitator perlu mengetahui tentang cara manajemen Novo Nordisk dan hal lainnya, karena tugas dari facilitator adalah untuk meningkatkan mufakat dan menguatkan kepatuhan pada cara tersebut. Karena menurut Novo Nordisk, kata patuh mengandung makna yang kuat dan tidak boleh dipisahkan dari Novo Nordisk. Karena Novo Nordisk adalah perusahaan yang mengasilkan biotechnology yang menghasilkan produk pelayanan kesehatan bagi manusia yang tidak boleh ada perkara seperti malpraktek yang dapat menyebabkan kerugian bagi semua pihak.

Konsep facilitator dikumpulkan oleh tiga peneliti dari Sekolah Bisnis di Copenhagen pada tahun 1996. Dengan persetujuan dari manajemen perusahaan, Henrik Gurtler mengirim email kepada 1.000 manajer umum dan senior sepanjang perusahaan. Perusahaan memerlukan 14 orang – orang yang mampu menjelajahi dunia dan masuk ke unit lokal di banyak negara berbeda. Bagi perusahaan pusat, posisi ini dideskripsikan sebagai posisi yang berbeda dari sifat – sifat yang alami.

Semua telah menjadi bagian dari perusahaan, selalu terulang dilemma antara tekad atau sesuatu yang baku antara HQ perusahaan atau bisnis unit pada DK dan dan tekad atau sesuatu yang baku bagi kebutuhan unit lokal pada masing – masing unit yang terpisah. Satu cara atau lebih, sistem, prosedur, instruksi kerja dan record harus benar sesuai tempat dan kontrol pada masing – masing unit lokal agar dapat berjalan pada bisinis lokal. Yang menjadi pertanyaan, standarisasi pendekatan untuk mengaplikasikan pada level local, level regional, level unit bisnis atau level perusahaan. Dan dalam dimensi yang lain, standarisasi pendekatan diselesaikan dari Denmark. Denmark segera menemukan pada keadaan dimana berbagai sistem, prosedur dan telah menindak lanjuti mekanisme, atau dalam proses telah menjadi standarisasi bagi HQ dan DK. Menindak lanjuti untuk fokus yang lebih besar apakah sistem dan prosedur itu terpakai. Konsekuensinya dalam melakukan manuver dan mengaplikasikan kebijakan tersebut adalah memilih kiat atau tools local dan juga peningkatan yang signifikan dalam kenaikan pengarahan aliran data dan kontol pusat walaupun belum terlihat peningkatan diperkuatnya aliran data dan respon atau tanggapan dalam cara lain.

Untuk selanjutnya, dimana facilitator yang sudah mengetahui tentang perusahaan yang telah ditugaskan untuk membantu manajemen perusahaan dalam mentransfer nilai assosiasi cara manajemen Novo Nodisk bagi semua unit di seluruh dunia. Tetapi Gurtler menambahkan bahwa mereka harus dapat lebih daripada itu. Gurtler menyadari bahwa jika semua unit mematuhi filosofi, ajaran perusahaan dan dengan teliti berjalan pada goals dan nilai, itu akan membuat komunikasi antar unit menjadi lebih baik dan cepat. Dan hal tersebut dapat mengurangi halangan untuk dapat saling berbagi pengetahuan dan dapat membangkitkan inovasi dan kerja sama antar unit.

Facilitator dalam menjalankan tugasnya, harus memperlihatkan :

  • Pemahaman dasar bagaimana operasi Novo Nordisk, meliputi : struktur, logistik, nilai, jaringan lokal, pasar, dan pelanggan
  • Menganalisa fakta, pendekatan yang sistematis dan keterampilan yang baik dalam perencanaan
  • Membuktikan kapasitas untuk bekerja dengan efektif dan kesepakatan dengan orang – orang yang berbeda latar belakang kebudayaan
  • Komunikasi dan kemampuan mendengar yang baik
  • Kemampuan mengidentifikasi masalah dengan baik dan menunjukkan fleksibilitas memisahkan masalah
  • Kemampuan presentasi yang baik
  • Kemampuan bekerja mandiri dalam periode waktu yang lama
  • Kemampuan dan kemauan untuk bergerak, dimana pekerjaan mungkin harus bepergian lebih dari 100 hari dalam setahun

Operasi objektif dan umum dari facilitation

Pada sesi ini, akan diuraikan secara singkat objektif dan operasi dari garis besar facilitation. Yang diuji pada tiga fase : pre-facilitation, facilitation yang sesuai, penempatan facilitation.

Pre-facilitation proses

Kunci untuk facilitation terletak pada persiapan dibandingkan dengan faktor lainnya. Ringkasan tentang keterangan latar belakang pada suatu unit harus dapat dengan mudah dikumpulkan dan diasimilasi kan oleh facilitator. Dokumen tentang materi meliputi hal berikut :

  • Diagram organisasi
  • Daftar karyawan
  • Hasil terakhir dari audit organisasi
  • Hasil survey
  • Misi unit dan atau goal unit
  • Rencana bisnis unit

Pada fase ini, facilitator menganalisa tentang unit bisnis lokal dengan intelegensi dan penuh denga kebijaksanaan. Dan akhir pada fase ini, tidak boleh terlewatkan suatu hal yang paling rumit dalam fase pre-facilitation, yaitu persetujuan antara facilitator dan manager unit dalam cara manajemen Novo Nordisk. Yang dimana mereka minim akan pengamatan, pengertian, dan kepatuhan diantaranya.

Facilitation yang sesuai

Pada terminologi facilitation, aspek pertama menyebutnya pengumpulan fakta, namun hal tersebut tidak pasti tepat, tapi facilitation telah mengumpulkan beberapa fakta tentang unit lokal. Aspek kedua, ialah membacakan dokumentasi unit. Facilitator meminta kepada unit yang tepat untuk memberikan informasi pada deskripsi pekerjaan, membangun rencana, evaluasi kinerja, rencana bisnis, dan waktu untuk rapat. Aspek ketiga, facilitation fokus terhadap identifikasi better practice. Facilitator telah mengidentifikasi better practice yang sesuai. Aspek yang keempat, mendeskripsikan facilitation sebagai penutup dan laporan. Facilitator mempersiapkan laporan daftar aksi yang telah didiskusikan dengan manager unit dan anggota dari staff yang terkait. Dan laporan akhirnya, menggabungkan point – point tentang aksi yang telah disepakati. Dan hasil laporan akan sampai pada Henrik Gurtler sebagai penanggung jawab facilitation.

Penempatan facilitation

Satu dari facilitator akan diangkat untuk bertanggung jawab untuk menindaklanjuti dari facilitation.

Facilitation : suatu ulasan sementara

Konsep facilitation adalah sebuah percobaan. Seperti halnya melakukan perjudian atau suatu investasi pada sebuah manusia. Banyak yang meragukan tentang facilitation, bahkan tidak berpihak kepadanya. Namun pada facilitator dapat membuktikannya dalam tahun pertamanya. Facilitator dianggap berperan banyak dan bermanfaat.

Facilitation sebagai manajemen antar budaya

Facilitator mendasari tugas multikultural yang sangat kompleks. Ditantang untuk dapat memastikan bahwa semua unit pada Novo Nordisk mematuhi filosofi bisnis, ajaran manajemen, membuat better practice , identifikasi semua unit, dan siap sepanjang perusahaan. Dari perspektif manajemen multikultural, terdapat dua dimensi yang menjadi kunci :

  • Dirinya sendiri sebagai multikultural atau multilingual
  • Interaksi dengan unit adalah kemudahan

Facilitation as knowledge management

Pemikiran tentang konsep untuk facilitator adalah kebutuhan untuk membuat sepanjang perusahaan agar menjadi lebih baik. Walaupun perusahaan sudah mengaplikasikan teknologi intranet sebagai media komunikasi, namun para individu lebih menyukai interaksi dengan sesama manusia. Facilitator memperoleh knowledge dengan empat cara : identifikasi, mengamati, verifikasi, dan dokumentasi. Facilitator telah dapat mencangkok knowledge – knowledge dari satu lokasi dan mengirimnya sebagai pengetahuan ke lokasi lain. Dan facilitator juga menjadi bagian dari knowledge tersebut, diantaranya knowledge tersebut adalah :

  • Menyerap dan mendokumentasikan knowledge baru tentang perusahaan dari sudut pandang unit – unit yang satu dengan yang lainnya saling berbeda yang berinteraksi pada tiga taraf budaya : nasional, perusahaan, dan professional
  • Menyesuaikan perilaku dan gaya komunikasi agar sesuai dengan kondisi local
  • Berbagi apa dan bagaimana kepada facilitator lainnya
  • Mendahulukan pengetahuan
  • Konversi knowledge ke berbagai format sehingga berguna bagi perusahaan
  • Mengkombinasikan knowledge
  • Melakukan multikultural melalui aplikasi dari intelegensi dan kebijakan

Commonly held and contrastive feature

  • Mads Ovlisen sebagai CEO tidak mempermasalahkan dalam perekrutan orang – orang terbaik dalam berbagai disiplin ilmu.
  • Pada tahun 1990 perusahaan mengalami penurunan, dan kemudian munculah inovasi untuk membentuk tim elite untuk mengatasi masalah pada perusahaan dengan memperbaiki komunikasi secara vertikal dan horizontal
  • Henrik gurtler sebagai salah satu manager yang bertanggung jawab dalam pembentukan tim elite yang disebut sebagai facilitator, mengirim email kepada lebih dari seluruh manager sepanjang perusahaan dalam rangka penseleksian untuk tim elite
  • September 1996, 14 facilitator terbentuk
  • Facilitator sebagai knowledge management

Commonly held and contrastive feature

  • Mads Ovlisen sebagai CEO tidak mempermasalahkan dalam perekrutan orang – orang terbaik dalam berbagai disiplin ilmu.
  • Pada tahun 1990 perusahaan mengalami penurunan, dan kemudian munculah inovasi untuk membentuk tim elite untuk mengatasi masalah pada perusahaan dengan memperbaiki komunikasi secara vertikal dan horizontal
  • Henrik gurtler sebagai salah satu manager yang bertanggung jawab dalam pembentukan tim elite yang disebut sebagai facilitator, mengirim email kepada lebih dari seluruh manager sepanjang perusahaan dalam rangka penseleksian untuk tim elite
  • September 1996, 14 facilitator terbentuk
  • Facilitator sebagai knowledge management

Important knowledge in company

  • Mengutamakan pengetahuan
  • Cara memperbaiki komunikasi
  • Cara menjalankan proses bisnis dengan berbagai kebijakan
  • Visi dan misi, serta kebijakan – kebijakan yang dijalankan
  • Identifikasi apa yang terjadi pada unit – unit lokal yang tersebar di seluruh dunia, dengan kepedulian yang besar
  • Kepedulian kepada para karyawan
  • Memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan dengan tidak memaklumi malpraktek

Cross cultural interfaces & Knowledge domain

  • Peran dari tim khusus yang disebut sebagai facilitator untuk transfer nilai dan cara – cara yang lebih baik di sepanjang perusahaan di seluruh dunia
  • Facilitator sebagai agen multicultural menciptakan persamaan keunggulan di sepanjang perusahaan
  • Facilitator sebagai bentuk knowledge management
Tags: